Chapter 1968
Bab 1968 Menyebalkan
Dewi pun mandi lagi, berganti piyama yang bersih dan nyaman, minum sup bergizi yang disiapkan oleh Nola, dan berbaring dengan nyaman di
tempat tidur, bersiap untuk tidur. Lalu, pintu kamar pun terbuka....
Pria itu datang lagi!!!
“Aku lagi mens, kamu masih mau?”
Dewi duduk, mengambil bantal dan melemparnya ke arahnya.
Lorenzo menangkap bantal dan berbaring miring di sampingnya. Begitu dia mengulurkan tangannya, dia merangkul tubuh mungilnya ke dalam
pelukannya. Mengusapnya seperti anak kucing.
“Jangan main-main denganku.”
Dewi menghindarinya dengan gelisah, takut akan sifat buasnya menyebabkan pertempuran
darah.
“Aku hanya ingin peluk.” Lorenzo berbisik sambil menggigit telinganya, mencubit bokongnya dengan tangannya yang besar, “Kalau kamu bergerak
lagi, aku tidak bisa menahannya lagi.”
Lalu, Dewi menurutinya, meringkuk di pelukannya dengan patuh, tidak bergerak sama sekali.
“Apa perutmu sakit?”
Telapak tangan panas Lorenzo terulur ke dalam piyamanya, membelai perutnya dengan lembut, memberinya kehangatan yang berbeda.
Dewi mendongak dan menatapnya, wajahnya yang tegas terlihat sangat tampan di bawah cahaya redup. Meski dalam kegelapan, mata yang
berwarna coklat muda itu masih bersinar terang.
Dia mengerutkan bibirnya, merasakan adanya dorongan untuk menciumnya
“De... wi!” Lorenzo tidak menanggapinya, membisikkan namanya dengan lembut dan bergumam, “Nama ini bagus. Tapi, aku masih lebih suka
memanggilmu Wiwi!”
“Dulu, aku memanggilmu apa?”
Dewi masih belum sepenuhnya mengingat beberapa detail di masa lalu. Dia hanya ingat bahwa mereka memang memiliki hubungan cinta pertama
yang indah.....
Kepingan itu sering muncul di benaknya, tapi dia tidak bisa mengingat beberapa detail.
1/3
“Sikapmu tidak sopan!” Lorenzo memutar matanya, “Setiap kali, kamu memanggilku hei!”
“Hahaha. Itu gayaku.” Dewi tertawa, “Lalu, kenapa kamu memanggilku Wiwi?”
“Kamu yang mengatakannya sendiri. Aku tanya siapa namamu, kamu bilang Wiwi!”
Lorenzo mencubit hidungnya.
“Itu salah....” Dewi menyipitkan matanya, mengingat dengan hati-hati, “Nama Wiwi ini agak familiar. Tapi sepertinya, itu bukan namaku.”
“Jangan bicara omong kosong.”
Lorenzo terlalu malas untuk memikirkan hal sepele ini, lalu dia mendekat dan menggigit. bibirnya yang lembut...
“Ugh....”
Namun, ciuman Lorenzo menjadi semakin dalam. Dengan napas yang bergairah dan membara, seolah ingin melelehkannya
Dewi sangat gugup hingga seluruh tubuhnya tegang. Kedua lengannya memukul punggungnya dengan panik.
Tapi, tubuhnya sekokoh tembok besi. Tidak bergerak sama sekali.
Setelah sekian lama, akhirnya dia melepaskannya, menggigit dagunya dan berkata, “Jangan khawatir, aku hanya menciummu. Tidak akan
menyentuhmu....”
“Tapi, ugh....”
Seluruh tubuh Dewi mati rasa. Tidak mampu menahan antusiasnya, hanya bisa memejamkan mata dan diam-diam menerimanya.
Malam yang sunyi dan indah seperti air yang mengalir. Di luar, kepingan salju yang besar berjatuhan satu demi satu. Jatuh di dalam kastil,
menumpuk menjadi sebuah dunia yang putih.
Seperti dua hati yang murni itu....
Tidak tahu berapa lama, Dewi sudah tidak tahan dicium olehnya. Tapi, Lorenzo dengan enggan melepaskannya. Tiba-tiba dia bangkit dan bergegas
ke kamar mandi.
Dewi memeluk bantal dan menatap pintu kamar mandi dengan heran, tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
2/3
Setelah beberapa saat, Lorenzo keluar dengan aura dingin di sekujur tubuhnya. Masih ada tetesan air di tubuhnya yang belum dikeringkan, terlihat
sedingin es.
“Kamu mandi? Astaga, kamu mandi air dingin?”
Dewi merasa seluruh tubuhnya sedingin es. Dia memukuli dadanya dengan marah, “Kamu tidak takut masuk angin.”
“Ini salahmu!”
Lorenzo menariknya ke dalam pelukannya, menekan kepala kecilnya di dadanya, “Tidur!”
“Menyebalkan.”
3/3